Menyatukan Idul Fitri Secara Syar’i Dan Elegan
Menyatukan Idul Fitri Secara Syar’i dan Elegan
Oleh: Muhammad Zaitun Rasmin, Lc, MA
Artikel ini berangkat dari keprihatinan
akan perbedaan umat Islam di Indonesia dalam melaksanakan shalat Idul
Fitri, yang terjadi hampir setiap tahun.
Perbedaan hari Idul Fitri dan juga Idul Adha sangat penting untuk dicari solusinya. Sebab perbedaan hari Id di antara kaum muslimin akan mengurangi makna syiar Id sebagai hari persatuan dan solidaritas umat Islam, terutama bagi yang berada dalam satu wilayah atau negara. Berbeda dengan awal puasa yang sekalipun terjadi perbedaan hari, tidak terlalu menampakkan perbedaan diantara umat.
Simpul persoalan yang melatari perbedaan waktu shalat Idul Fitri ini
adalah metode penetapan awal dan akhir Ramadhan. Yang dikenal ada dua
metode: rukyah dan hisab. Yang pertama dipegang oleh kalangan Nahdlatul
Ulama (NU), sedang yang kedua dianut oleh Muhammadiyah. Pemerintah
berpegang pada metode pertama. Karenanya, terdapat tim yang disebarkan
untuk memantau dan melihat munculnya bulan pada tanggal 29 Sya’ban dan
29 Ramadhan. Setelah itu, tim tersebut bersidang untuk menetapkan
(itsbat) awal puasa dan Idul Fitri. Adapun metode hisab didasarkan pada
perhitungan bintang yang lazim dalam ilmu falaq.
Bertahun-tahun persoalan ini tak kunjung tuntas. Yang maksimal
diupayakan adalah saling menghargai pilihan masing-masing, meski sangat
pahit menyaksikan pelaksanaan shalat Idul Fitri di hari yang berbeda.
Padahal kita hidup di satu negara, bahkan satu wilayah dan kota.
Kenyataan ini sangat memprihatinkan, mengingat negara-negara Islam
lainnya tidak menghadapi persoalan yang sama. Malaysia misalnya, meski
di sana juga terdapat ormas Muhammadiyah, tapi pemerintah dan mayoritas
penduduknya menganut metode rukyah.
Jika begitu, apakah tak ada solusi untuk mempersatukan hari Idul
Fitri bagi kaum Muslimin di Indonesia? Sebelumnya, patut diingat, bahwa
meski Idul Fitri ini bukanlah ibadah wajib, tapi seluruh kaum muslimin
bersemangat melaksanakannya. Karenanya, kita dapat memahami mengapa
tidak ada satu kelompok pun yang mau mengalah dengan pendapatnya.
Karenanya, solusi yang ditawarkan sulit untuk diterima oleh pihak
manapun kecuali mempunyai landasan syar’i yang jelas.
Solusi ini berangkat dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud,
Ibnu Majah dan Tirmidzi, Rasulullah صل اللة عليه وسلم bersabda,
“(Waktu) puasa itu adalah ketika kalian berpuasa dan (waktu) Idul Fitri adalah ketika kalian beridul Fitri dan (waktu) Idul Adha adalah ketika kalian Beridul Adha.”
“(Waktu) puasa itu adalah ketika kalian berpuasa dan (waktu) Idul Fitri adalah ketika kalian beridul Fitri dan (waktu) Idul Adha adalah ketika kalian Beridul Adha.”
Hadits ini tidak menyinggung sama sekali tentang rukyah atau hisab.
Tapi ia menegaskan bahwa puasa dan Idul Fitri dan Idul Adha adalah
ibadah yang dilakukan secara berjamaah dan dengan mayoritas umat.
Ulama hadits menjelaskan makna hadits ini. Yakni, puasa dan Idul
Fitri dan Idul Adha adalah ibadah secara berjamaah dan dilakukan bersama
mayoritas kaum Muslimin. (Shahih Imam Tirmidzi, Silsilah ash-Shahihah,
Syaikh al-Albani, I/440 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, II/
9374-9375).
Karenanya, dalam sejarah Islam disebutkan tradisi kaum Muslimin
berpuasa atau berlebaran bukan karena masing-masing perorangan melihat
bulan (rukyah) atau dapat menghitung sendiri posisi bulan (hisab). Tapi
berdasarkan pengumuman, baik lewat masjid atau dari mulut ke mulut, dan
lainnya. Dalam kasus terdapat seorang muslim yang melihat bulan atau
meyakini telah masuk puasa, tapi mayoritas umat tidak mengakuinya, maka
maksimal yang dibolehkan baginya adalah berpuasa secara diam-diam, agar
tidak mengganggu ketentraman dan persatuan umat di wilayah itu.
Yang tak kalah penting, ukuran mayoritas selain ditentukan dengan
jumlah yang banyak secara mutlak juga diwakili oleh pemerintah yang
berdaulat. Sebab, pada dasarnya pemerintah yang berdaulat adalah tempat
bersatunya umat atau simbol persatuan umat yang secara otomatis bermakna
mewakili mayoritas umat.
Tujuan yang ingin dicapai oleh hadits ini begitu jelas, yakni menjaga
persatuan umat Islam yang merupakan kewajiban atas seluruh kaum
muslimin.
Bila landasan hadits tersebut telah dipahami, maka dapat disimpulkan:
Pertama,
seyogianya penentuan awal puasa dan
Idul Fitri diserahkan kepada pemerintah, selama pemerintah itu berdaulat
dan berkompeten dalam menentukan masalah ini, terlepas apapun metode
yang dianutnya. Asas kompetensi ini sangat penting, karena ketika asas
itu absen, maka tugas itu pindah ke tangan para ulama dan tokoh umat
Islam. Makna kompetensi di sini adalah keislaman dan kesungguhan serta
memiliki perangkat memadai.
Kedua,
setiap Muslim termasuk
organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga Islam yang memiliki informasi
tentang masalah ini wajib menyampaikan kepada pemerintah dan menyerahkan
keputusannya pada mereka.
Ketiga,
bagi muslim atau sekelompok orang
atau organisasi yang telah meyakini masuknya 1 Ramadhan, tapi
pemerintah—dengan alasan yang kuat—tidak menerimanya, maka menurut
sebahagian ulama ia boleh berpuasa tetapi dengan diam-diam (sirr).
Sementara oleh sebagian ulama lainnya, mengharuskan mereka mengikuti
mayoritas umat, dalam hal ini pemerintah, sebagaimana dijelaskan di
atas.
Keempat,
adapun jika dia meyakini telah
masuk Idul Fitri tapi pemerintah tidak memperoleh informasi itu, atau
punya alasan kuat untuk tidak menerima informasi itu, maka ia tidak
boleh shalat Idul Fitri kecuali bersama-sama dengan mayoritas umat,
dalam hal ini mengikuti pemerintah. Walau demikian, dalam kasus ini,
sebagian ulama membolehkan atau mewajibkan dia untuk tidak berpuasa lagi
pada hari yang ia yakini telah masuk 1 Syawal, tapi ia menunggu Idul
Fitri bersama mayoritas umat. Dalilnya adalah hadits shohih yang
diriwayatkan oleh imam Nasa-i dimana ada dua orang yang datang
menyampaikan kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang
saat itu masih berpuasa-bahwa mereka di malam hari telah melihat bulan
sabit Syawwal. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para
shahabat untuk berbuka lalu sholat idil fitrinya nanti pada keesokan
harinya. Imam Syafii berkata bahwa barang siapa yang telah melihat bulan
(meyakini telah masuk 1 Syawwal-pen) maka ia wajib berbuka tetapi
secara sirr (diam-diam) dan nanti beridil fitri bersama kaum muslimin.
Berbagai ormas Islam perlu menyadari, apabila sebuah perbedaan telah
menjadi suatu keniscayaan dan tidak ada titik kompromi, maka perbedaan
mungkin dapat dimaklumi. Tapi jika ada titik kompromi yang berlandaskan
syar’i dan sejalan dengan ruh dan petunjuk Islam yang mengedepankan
persatuan, maka tidak ada alasan untuk terus memelihara perbedaan yang
ada.
Selain itu, masalah perbedaan hari Idul Fitri di Indonesia dapat
diselesaikan dengan menjadikan pemerintah sebagai pihak yang menentukan
hari Idul Fitri bagi segenap kaum muslimin di Indonesia dengan menerima
masukan dari tokoh-tokoh ormas Islam, ulama dan kaum Muslimin umumnya.
Tentang metode penetapannya diserahkan pada pemerintah, melalui
perangkat dan ahlinya. Jadi kalau sekarang pemerintah menganut metode
rukyah maka yang menganut hisab harus berlapang dada. Dan jika suatu
saat pemerintah menganut metode hisab, maka yang menganut metode rukyah
harus berlapang dada.
Perlu pula digaris bawahi, hal ini bukan bentuk meninggalkan pendapat
yang dianut, tapi untuk kepentingan ibadah dan kemaslahatan yang lebih
besar. Dalam hal ini kita mendapatkan contoh dari Rosulullah صل اللة
عليه وسلم dimana beliau meninggalkan sesuatu yang beliau pandang baik
tapi bukan wajib demi menjaga keutuhan umatnya. Beliau tidak mengubah
bentuk Ka’bah sesuai bentuk aslinya di zaman Ibrahim, padahal beliau
ingin dan telah berdaulat di Makkah. Meninggalkan yang sunnah demi yang
wajib adalah jelas syariatnya dan telah disepakati oleh kaum muslimin
dari masa ke masa. Contoh lain, salah seorang ulama shahabat bernama
Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu mengkritik khalifah Utsman radiyallahu
‘anhu dalam perkara tidak mengqoshar shalat (dhuhur,ashar dan isya) di
Mina dan beliau meyakini itu bertentangan dengan sunnah. Tetapi ketika
haji , beliau (Ibnu Mas’ud) radiyallahu ‘anhu meninggalkan pendapatnya
untuk tidak mengqoshar sholatnya (mengikuti pendapat sang Khalifah) demi
persatuan ummat.
Akhirnya, teriring harapan agar semua pihak yang telah atau akan
menentukan hari Id berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh pemerintah
dapat menyesuaikan dengan apa yang akan ditetapkan oleh pemerintah yang
merupakan representasi mayoritas umat Islam. Meski dipersilakan untuk
tidak berpuasa pada hari yang telah diyakini sebagai hari Idul Fitri.
Di sisi lain, ormas dan kaum muslimin yang sejalan dengan penetapan
pemerintah hendaknya pula tidak membanggakan diri. Sebaliknya, harus
menghargai orang-orang atau organisasi yang sekalipun mereka tidak
berpuasa lagi, tapi mau menyesuaikan shalat idnya dengan mayoritas umat
dalam rangka menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyah.
Semoga Allah senantiasa membimbing dan mencurahkan rahmat dan berkahnya kepada kita
semua.
Sumber : wahdah.or.id
0 komentar: