[KEREN] Sejarah & Proses Pembuatan Perahu Phinisi
TENTANG PHINISI
Tanah
beru, tanah leluhur para arsitek perahu Pinisi. Di tanah inilah
Panrita Lopi melahirkan karya besar mereka. Menciptakan perahu yang
hingga saat ini masih melayari pesisir pantai nusantara. Dimuali dari
awal sejarah Bugis klasik hingga zaman cybernetic perahu Pinisi tetap
anggun meniti arus, membelah ombak menggapai pantai tujuan. Masih segar
dalam ingatan ketika pinisi Amanagappa dengan gagah berlayar ke
semenanjung Madagaskar. Juga Hati Herage dan Damarsagara yang berlayar
ke Australia dan Jepang. Seolah ingin memperlihatkan pada dunia bahwa
inilah anak bangsa yang telah menoreh kisah dalam lontara zaman
berzaman. Sejenak, ingin rasanya berada di Bonto Bahari dan menyaksikan
kepiawaian pencipta perahu-perahu handal yang dengan mahir melahirkan
karya besar mereka. Sungguh, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
setiap jengkal badan perahu sarat dengan nilai falsafah.
Perahu pinisi dari zaman dahulu hingga saat ini telah menorehkan kisah panjang. Pinisi telah menjelma menjadi armada perang, kapal angkut barang dagangan hingga kapal pesiar yang dilengkapi peralatan mewah sekelas hotel berbintang. Seperti apakah sesungguhnya perahu ini dilahirkan, berikut sekelumit gambaran tentang proses pebuatan perahu pinisi yang terkenal handal dalam arung samudra. |
SEJARAH PHINISI
Berawal
dari mitologi dan kepercayaan masyarakat terhadap sosok Sawerigading
yang berlayar dari tanah luwu untuk mempersunting seorang putri
bernama We Codai. Keberangkatan Sawerigading ini berlayar menggunakan
sebuah kapal yang terbuat dari sebuah pohon bernama Welenreng. Pohon
ini ditempah untuk dijadikan perahu yang akan digunakan oleh
Sawerigading dalan pelayarannya. Namun, perahu ini diterpa badai dan
akhirnya pecah. Bagian perahu yang telah hancur ini kemudian terdapar
di tiga tempat, bagian haluan dan buritan terdampar di Lemo-lemo.
Bagian lambung kapal terdampar di sebuah desa bernama Ara dan layarnya
terdampar di Bira. Oleh masyarakat ketiga daerah ini mengumpulkan
puing puing perahu Sawerigading dan mereka ulang bentuknya. Dari sinilah awal munculnya mitologi bahwa ketiga daerah tersebut memiliki keahlian spesifik berdasarkan temuan puing-puing kapal tersebut. Orang Bira yang diyakini mendapatkan layar kelak memiliki keterampilan berlayar dan navigasi. Orang Ara memiliki kemampuan spesifik dalam pembuatan lambung kapal dan sebaliknya orang Lemo-lemo lebih mahir membuat haluan dan buritan perahu. Ketiga daerah ini berada di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan,yang kemudian tersohor sebagai pembuat perahu pinisi. Pada awal abad ke-18 para pelaut Bira menakhodai pinisi padewakang hingga ke pantai utara Australia demi memburu teripang kualitas terbaik. Padewakang yang mampu membawa muatan hingga 140 ton berkeliling menghimpun barang dari berbagai pelosok Nusantara; rotan, lilin, agar-agar, sirip hiu, kulit, daging kering, kulit penyu, sarang burung, dan tikar rotan; dan menjualnya kepada saudagar kapal jung dari China. Guncangan politik lokal tahun 1950-an, kelangkaan kayu, dan perkembangan teknologi kapal motor membuat kejayaan Semenanjung Bira memudar. Namun, punggawa Semenanjung Bira menolak menyerah. Thomas Gibson dalam bukunya, Kekuasaan Raja, Syaikh, dan Ambtenaar-Pengetahuan Simbolik & Kekuasaan Tradisional Makassar 1300–2000 (Penerbit Ininnawa, 2009), mengurai diaspora tukang kapal Desa Ara dan Lemo-lemo yang meninggalkan Semenanjung Bira demi melanjutkan jalan hidup mereka sebagai punggawa pinisi. Menurut Gibson, punggawa Desa Lemo-lemo sejak awal abad ke-19 mulai meninggalkan Semenanjung Bira, punggawa pinisi di mana-mana. ”(Sementara) para pembuat perahu Desa Ara (hingga awal 1950-an tetap) bergantung kepada saudagar kaya di Bira … (Namun) pemberontakan Darul Islam (membuat) pangkalan perahu di Bira dan Bone ditutup … Para punggawa (Desa Ara) mulai (pergi dan) membuka kontak dengan saudagar Tionghoa di seluruh Indonesia. Mereka kembali ke Ara, merekrut awak pembuat kapal (yang lantas dibawa ke) tempat para pemesan. Di Pulau Laut, Kalimantan Selatan, dibangun perahu yang bobotnya hingga 600 ton,” tulis Gibson. Gibson mencatat, pada 1988 koloni orang Ara tersebar di Indonesia. Mulai dari Jampea, Selayar, Sulawesi Selatan; Merauke dan Sorong di Papua; Kupang di Nusa Tenggara Timur; Ambon dan Ternate di Kepulauan Maluku; Tarakan, Balikpapan, Batu Licin, Kota Baru, Banjarmasin, Sampit, Kuala Pembuangan, Kumai, dan Pontianak di Kalimantan; Jakarta; Surabaya; hingga Belitung, Palembang, dan Jambi di Sumatera. |
PROSES PEMBUATAN PHINISI
Spoiler for 1. Proses Pencarian Bahan Dasar:
|
Spoiler for 2. Pemilihan pohon atau kayu yang akan dijadikan bahan dasar:
|
Pemilihan
kayu juga tidak dapat dilakukan secara serampangan, tapi dengan
melalui proses pemilihan dengan penyelenggaraan ritual tertentu.
Biasanya diawali dengan pemotongan ayam dan permintaan izin agar
penghuni pohon atau makhluk halus yang diyakini mendiami pohon tersebut
memberikan izin agar kayu tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembuatan
perahu. Proses pemotongan ini juga harus dilaksanakan sekaligus, tidak
boleh berhenti dikerjakan sebelum pohonnya tumbang. Karenanya, proses
pemotongan yang lazimnya menggunakan gergaji dilakukan oleh laki-laki
yang berbadan kuat.
Spoiler for 3. Pemotongan Lunas:
|
Pemotongan
kayu untuk dijadikan lunas juga memiliki aturan tersendiri. Kayu
bagian ujung yang dipotong dan tidak dapat dimanfaatkanakan dibuang
kelaut. Proses pengantaran bagian ujung ini juga tidak boleh menyentuh
tanah hingga kemudian dibuang kelaut. Upacara pengantaran ini lazim
disebut ritual annattara. Bagian yang dibuang ini melambangkan
laki-laki yang melaut untuk mencari nafkah atau juga dapat diartikan
sebagai penolak bala. Selanjutnya potongan bagian belakang akan
disimpan dirumah, sebagai symbol seorang istri yang menanti kedatangan
suami yang sedang mencari nafkah dengan melaut.
Sumber : http://www.klikunic.com
0 komentar: